Oleh: Syaiful Rahman
Pendidikan
senantiasa merefleksikan cita-cita luhur dan arah pembangunan suatu bangsa.
Dalam dinamika masyarakat yang terus mengalami perubahan sosial, ekonomi, dan
teknologi, pendidikan tidak dapat bersifat statis. Pendidikan dituntut untuk
tumbuh, menyesuaikan diri, bahkan mengambil peran sebagai pelopor transformasi
sosial. Masa depan pendidikan di Indonesia saat ini berada pada titik kritis:
di satu sisi terdapat dorongan untuk mempertahankan sistem yang telah mapan
namun cenderung stagnan; di sisi lain, terbuka peluang untuk melakukan
pembaruan yang bersifat progresif meskipun penuh tantangan dan risiko. Dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan, arah reformasi pendidikan harus visioner
dan prospektif berorientasi ke depan, bukan terjebak dalam romantisme masa
lalu.
Realitas
sosial dan teknologi yang berkembang pesat telah mendesak perlunya pergeseran
paradigma pendidikan. Model pembelajaran konvensional yang hanya berfokus pada
transfer pengetahuan satu arah tidak lagi memadai. Dunia menuntut lahirnya
manusia pembelajar seumur hidup, mereka yang tidak hanya tahu, tetapi mampu
berpikir kritis, berkolaborasi, dan berinovasi dalam ketidakpastian. Dalam
konteks ini, kurikulum harus hadir bukan sekadar sebagai dokumen normatif,
tetapi sebagai instrumen dinamis yang relevan dengan realitas dan kebutuhan
masa kini dan mendatang (OECD, 2018).
Dalam
konteks manajemen pendidikan kontemporer, pendekatan yang digunakan harus mampu
merespons kompleksitas sistem pendidikan masa kini. Konsep strategic
educational management sebagaimana dikemukakan oleh (Bush,
2003) dan (Dayo et al., 2019) menekankan pentingnya
kepemimpinan visioner, kolaboratif, dan berbasis perubahan berkelanjutan.
Perubahan bukan lagi bersifat administratif, melainkan transformatif: mendorong
terjadinya inovasi dan adaptasi menyeluruh pada semua level manajemen Pendidikan,
dari pusat hingga satuan pendidikan. Maka, pendidikan masa depan perlu dikelola
melalui prinsip-prinsip kontemporer seperti distributed leadership,
data-driven decision-making, dan participatory governance (Bush,
2003)
Pendidikan
ke depan harus didesain fleksibel dan kontekstual. Kurikulum tidak bisa lagi
diseragamkan secara nasional tanpa mempertimbangkan kondisi lokal. Anak-anak
yang tumbuh di pegunungan Papua, pesisir Sulawesi, dan kota besar di Jawa
memiliki tantangan dan sumber daya yang berbeda. Oleh karena itu, sistem
manajemen yang desentralistik berbasis kebutuhan lokal menjadi pendekatan yang
relevan dan strategis. (Goleman, 1995) dalam teorinya tentang emotional
intelligence, menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya perlu melatih
kemampuan kognitif, tetapi juga afektif dan sosial. Hal ini menegaskan perlunya
pembelajaran yang holistik dan berakar pada konteks kehidupan peserta didik.
Di
sisi lain, pengelolaan sumber daya manusia dalam pendidikan menjadi penentu
keberhasilan reformasi. Dalam model manajemen sumber daya pendidikan yang
dikembangkan oleh (Armstrong
& Taylor, 2014), keberhasilan institusi pendidikan
sangat ditentukan oleh kualitas, kompetensi, dan kesejahteraan para aktor
pendidikan: guru, tenaga kependidikan, dan pemimpin satuan pendidikan. Pendidik
masa depan dituntut tidak hanya kompeten dalam bidang akademik, tetapi juga
memiliki kemampuan pedagogis yang reflektif, adaptif terhadap teknologi, serta
memiliki etos belajar sepanjang hayat. Ini memerlukan sistem pelatihan
profesional berkelanjutan yang bersifat personalisasi dan berbasis praktik
nyata, bukan seremonial administratif.
Kepala
Satuan Pendidikan, pustakawan, laboran, pengelola data, dan administrator
pendidikan harus dikembangkan melalui pendekatan manajemen talenta (talent
management). Kinerja mereka perlu diukur secara adil dan dikaitkan langsung
dengan peningkatan mutu layanan pendidikan. Tanpa dukungan SDM pendukung yang
profesional, sistem pendidikan akan kehilangan fondasi operasionalnya (Armstrong
& Taylor, 2014).
Di
balik sumber daya, keberhasilan pendidikan juga bergantung pada kesiapan
birokrasi. Birokrasi pendidikan masa depan perlu didorong menjadi lebih lincah
(agile), bukan hierarkis dan lamban. Prinsip new public management
(NPM) yang menekankan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dapat
dijadikan landasan dalam pembaruan birokrasi pendidikan. Regulasi yang adaptif,
pelayanan berbasis teknologi digital, dan kolaborasi antarinstansi menjadi
prasyarat untuk menyukseskan manajemen pendidikan di era disrupsi.
Pendanaan
pendidikan juga harus diarahkan secara strategis. Dalam teori ekonomi
pendidikan, investasi pendidikan yang efektif memiliki rate of return
tertinggi ketika diarahkan pada penguatan SDM, bukan hanya infrastruktur fisik (Psacharopoulos
& Patrinos, 2018). Dengan demikian, anggaran
pendidikan ke depan perlu difokuskan untuk mendukung inovasi pembelajaran,
peningkatan kualitas guru, serta pemerataan akses bagi kelompok rentan dan
marjinal.
Sistem
evaluasi pendidikan juga harus direformasi. Model manajemen mutu pendidikan
yang berorientasi padaproses dan hasil belajar (learning outcomes)
menjadi alternatif penting. Sebagaimana dikembangkan oleh (Stufflebeam
H & McKee, 2003) dalam model CIPP (Context,
Input, Process, Product), evaluasi tidak hanya dilakukan pada akhir proses,
tetapi sepanjang implementasi untuk memastikan pembelajaran berjalan sesuai
arah yang dituju. Ini sejalan dengan pendekatan formative supervision
yang mendukung pertumbuhan profesional guru melalui bimbingan reflektif, bukan
semata pengawasan administratif.
Membidik
pendidikan ke depan bukan soal retorika. Ini adalah seruan untuk bertindak.
Dunia tidak menunggu bangsa yang lambat merespons. Oleh karena itu, pembaruan
sistem pendidikan harus dilakukan dengan cermat namun progresif. Diperlukan
keberanian kolektif dari semua pemangku kepentingan (negara, masyarakat,
pendidik, dan peserta didik) untuk membangun sistem yang berpihak pada
kualitas, keberagaman, dan keberlanjutan. Pendidikan adalah wajah masa depan.
Jika ingin masa depan yang cerah, maka pendidikan hari ini harus dibentuk
dengan visi, integritas, dan keberanian yang kuat.
Unduh pdf
Referensi:
Armstrong, M., & Taylor, S. (2014). ARMSTRONG’S HANDBOOK OF HUMAN RESOURCE MANAGEMENT PRACTICE (13th ed.). Kogan Page Limited. www.koganpage.com
Stufflebeam H, D., & McKee, B. (2003). The CIPP Model For Evaluation.
Dayo, N., Morjani, I., & Maznani, Z. H. (2019). Book Review: The New Meaning of Educational Change. Teachers College Press, 6(1), 61–64. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.21177.01124
Goleman, D. (1995). EMOTIONAL INTELLIGENCE WHY IT CAN MATTER MORE THAN IQ. Bantam Books.
OECD. (2018). The Future Of Education And Skills: Education 2030.
Psacharopoulos, G., & Patrinos, H. A. (2018). Returns to Investment in Education A Decennial Review of the Global Literature. Education Global Practice. http://econ.worldbank.org.
Bush, T. (2003). Theories of Educational Leadership and Management (3rd ed.). Sage Publications Ltd.