Minggu, 27 Juli 2025

Membidik Pendidikan ke Depan

Oleh: Syaiful Rahman

Pendidikan senantiasa merefleksikan cita-cita luhur dan arah pembangunan suatu bangsa. Dalam dinamika masyarakat yang terus mengalami perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi, pendidikan tidak dapat bersifat statis. Pendidikan dituntut untuk tumbuh, menyesuaikan diri, bahkan mengambil peran sebagai pelopor transformasi sosial. Masa depan pendidikan di Indonesia saat ini berada pada titik kritis: di satu sisi terdapat dorongan untuk mempertahankan sistem yang telah mapan namun cenderung stagnan; di sisi lain, terbuka peluang untuk melakukan pembaruan yang bersifat progresif meskipun penuh tantangan dan risiko. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, arah reformasi pendidikan harus visioner dan prospektif berorientasi ke depan, bukan terjebak dalam romantisme masa lalu.

Realitas sosial dan teknologi yang berkembang pesat telah mendesak perlunya pergeseran paradigma pendidikan. Model pembelajaran konvensional yang hanya berfokus pada transfer pengetahuan satu arah tidak lagi memadai. Dunia menuntut lahirnya manusia pembelajar seumur hidup, mereka yang tidak hanya tahu, tetapi mampu berpikir kritis, berkolaborasi, dan berinovasi dalam ketidakpastian. Dalam konteks ini, kurikulum harus hadir bukan sekadar sebagai dokumen normatif, tetapi sebagai instrumen dinamis yang relevan dengan realitas dan kebutuhan masa kini dan mendatang (OECD, 2018).

Dalam konteks manajemen pendidikan kontemporer, pendekatan yang digunakan harus mampu merespons kompleksitas sistem pendidikan masa kini. Konsep strategic educational management sebagaimana dikemukakan oleh (Bush, 2003) dan (Dayo et al., 2019) menekankan pentingnya kepemimpinan visioner, kolaboratif, dan berbasis perubahan berkelanjutan. Perubahan bukan lagi bersifat administratif, melainkan transformatif: mendorong terjadinya inovasi dan adaptasi menyeluruh pada semua level manajemen Pendidikan, dari pusat hingga satuan pendidikan. Maka, pendidikan masa depan perlu dikelola melalui prinsip-prinsip kontemporer seperti distributed leadership, data-driven decision-making, dan participatory governance (Bush, 2003)

Pendidikan ke depan harus didesain fleksibel dan kontekstual. Kurikulum tidak bisa lagi diseragamkan secara nasional tanpa mempertimbangkan kondisi lokal. Anak-anak yang tumbuh di pegunungan Papua, pesisir Sulawesi, dan kota besar di Jawa memiliki tantangan dan sumber daya yang berbeda. Oleh karena itu, sistem manajemen yang desentralistik berbasis kebutuhan lokal menjadi pendekatan yang relevan dan strategis. (Goleman, 1995) dalam teorinya tentang emotional intelligence, menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya perlu melatih kemampuan kognitif, tetapi juga afektif dan sosial. Hal ini menegaskan perlunya pembelajaran yang holistik dan berakar pada konteks kehidupan peserta didik.

Di sisi lain, pengelolaan sumber daya manusia dalam pendidikan menjadi penentu keberhasilan reformasi. Dalam model manajemen sumber daya pendidikan yang dikembangkan oleh (Armstrong & Taylor, 2014), keberhasilan institusi pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas, kompetensi, dan kesejahteraan para aktor pendidikan: guru, tenaga kependidikan, dan pemimpin satuan pendidikan. Pendidik masa depan dituntut tidak hanya kompeten dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki kemampuan pedagogis yang reflektif, adaptif terhadap teknologi, serta memiliki etos belajar sepanjang hayat. Ini memerlukan sistem pelatihan profesional berkelanjutan yang bersifat personalisasi dan berbasis praktik nyata, bukan seremonial administratif.

Kepala Satuan Pendidikan, pustakawan, laboran, pengelola data, dan administrator pendidikan harus dikembangkan melalui pendekatan manajemen talenta (talent management). Kinerja mereka perlu diukur secara adil dan dikaitkan langsung dengan peningkatan mutu layanan pendidikan. Tanpa dukungan SDM pendukung yang profesional, sistem pendidikan akan kehilangan fondasi operasionalnya (Armstrong & Taylor, 2014).

Di balik sumber daya, keberhasilan pendidikan juga bergantung pada kesiapan birokrasi. Birokrasi pendidikan masa depan perlu didorong menjadi lebih lincah (agile), bukan hierarkis dan lamban. Prinsip new public management (NPM) yang menekankan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dapat dijadikan landasan dalam pembaruan birokrasi pendidikan. Regulasi yang adaptif, pelayanan berbasis teknologi digital, dan kolaborasi antarinstansi menjadi prasyarat untuk menyukseskan manajemen pendidikan di era disrupsi.

Pendanaan pendidikan juga harus diarahkan secara strategis. Dalam teori ekonomi pendidikan, investasi pendidikan yang efektif memiliki rate of return tertinggi ketika diarahkan pada penguatan SDM, bukan hanya infrastruktur fisik (Psacharopoulos & Patrinos, 2018). Dengan demikian, anggaran pendidikan ke depan perlu difokuskan untuk mendukung inovasi pembelajaran, peningkatan kualitas guru, serta pemerataan akses bagi kelompok rentan dan marjinal.

Sistem evaluasi pendidikan juga harus direformasi. Model manajemen mutu pendidikan yang berorientasi padaproses dan hasil belajar (learning outcomes) menjadi alternatif penting. Sebagaimana dikembangkan oleh (Stufflebeam H & McKee, 2003) dalam model CIPP (Context, Input, Process, Product), evaluasi tidak hanya dilakukan pada akhir proses, tetapi sepanjang implementasi untuk memastikan pembelajaran berjalan sesuai arah yang dituju. Ini sejalan dengan pendekatan formative supervision yang mendukung pertumbuhan profesional guru melalui bimbingan reflektif, bukan semata pengawasan administratif.

Membidik pendidikan ke depan bukan soal retorika. Ini adalah seruan untuk bertindak. Dunia tidak menunggu bangsa yang lambat merespons. Oleh karena itu, pembaruan sistem pendidikan harus dilakukan dengan cermat namun progresif. Diperlukan keberanian kolektif dari semua pemangku kepentingan (negara, masyarakat, pendidik, dan peserta didik) untuk membangun sistem yang berpihak pada kualitas, keberagaman, dan keberlanjutan. Pendidikan adalah wajah masa depan. Jika ingin masa depan yang cerah, maka pendidikan hari ini harus dibentuk dengan visi, integritas, dan keberanian yang kuat.

Unduh pdf

Referensi:

Armstrong, M., & Taylor, S. (2014). ARMSTRONG’S HANDBOOK OF HUMAN RESOURCE MANAGEMENT PRACTICE (13th ed.). Kogan Page Limited. www.koganpage.com

Stufflebeam H, D., & McKee, B. (2003). The CIPP Model For Evaluation.

Dayo, N., Morjani, I., & Maznani, Z. H. (2019). Book Review: The New Meaning of Educational Change. Teachers College Press, 6(1), 61–64. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.21177.01124

Goleman, D. (1995). EMOTIONAL INTELLIGENCE WHY IT CAN MATTER MORE THAN IQ. Bantam Books.

OECD. (2018). The Future Of Education And Skills: Education 2030.

Psacharopoulos, G., & Patrinos, H. A. (2018). Returns to Investment in Education A Decennial Review of the Global Literature. Education Global Practice. http://econ.worldbank.org.

Bush, T. (2003). Theories of Educational Leadership and Management (3rd ed.). Sage Publications Ltd.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar