Rabu, 26 Maret 2025

Seorang Guru dalam Era VUCA: Refleksi Filosofis

Di tengah era digital yang penuh ketidakpastian, seorang guru menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa sebelmnya. Kita hidup dalam Era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), di mana perubahan begitu cepat, informasi berlimpah, dan tantangan pendidikan semakin dinamis. Dalam situasi ini, peran guru menjadi semakin krusial, tidak hanya sebagai pendidik tetapi juga sebagai pemimpin pembelajaran yang mampu beradaptasi dan membimbing generasi masa depan.  

Dari perspektif filsafat, keberadaan guru dalam Era VUCA dapat ditinjau dari tiga dimensi utama: ontologi (hakikat guru dalam dunia digital), epistemologi (cara guru memperoleh dan menyampaikan ilmu dalam era informasi), serta aksiologi (nilai dan tujuan pendidikan dalam menghadapi ketidakpastian).  

👉Ontologi : Hakikat Guru dalam Era Digital 

 Dalam dunia yang terus berubah, apakah makna seorang guru tetap relevan? Plato dalam Republic menggambarkan pendidikan sebagai jalan keluar dari kegelapan menuju cahaya. Kini, di era digital, guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Internet telah membuka akses tanpa batas terhadap informasi, tetapi di sisi lain, juga menciptakan kebingungan dan misinformasi.  

Menurut Zygmunt Bauman dalam konsep Liquid Modernity (2000), dunia saat ini bersifat cair, di mana segala sesuatu berubah dengan cepat dan sulit diprediksi. Dalam konteks ini, guru tidak bisa lagi terpaku pada peran tradisional, tetapi harus menjadi navigator yang membimbing murid melalui lautan informasi.  

Sementara itu, dalam perspektif Islam, Imam Al-Ghazali  menekankan bahwa ilmu yang sejati bukan sekadar akumulasi informasi, tetapi harus membawa manfaat dan keberkahan. Dalam Era VUCA, guru memiliki peran penting dalam membantu murid memilah informasi yang benar dan bermanfaat dari kebisingan dunia digital.  

Apakah kita masih menganggap diri sebagai satu-satunya sumber ilmu, atau sudah berperan sebagai fasilitator yang membantu murid memahami dan memanfaatkan informasi dengan bijak?  

👉Epistemologi : Metode Pembelajaran dalam Era Ketidakpastian

Bagaimana cara guru memperoleh dan menyampaikan ilmu dalam dunia yang penuh ketidakpastian? John Dewey dalam Democracy and Education (1916) menekankan bahwa pendidikan harus berbasis pengalaman dan refleksi. Dalam Era VUCA, pembelajaran tidak bisa lagi berbasis hafalan, tetapi harus berbasis eksplorasi dan pemecahan masalah.  

Menurut Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), guru tidak boleh hanya mentransfer ilmu secara satu arah (banking model), tetapi harus membuka ruang dialog dan berpikir kritis. Di era digital, peran ini semakin penting karena murid dapat mengakses informasi dari berbagai sumber, tetapi membutuhkan bimbingan untuk memahami, mengkritisi, dan mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata.  

Di sisi lain, teori Constructivism oleh Jean Piaget menegaskan bahwa pembelajaran yang efektif terjadi ketika murid aktif membangun pemahamannya sendiri. Dengan teknologi digital, guru dapat mengintegrasikan metode berbasis proyek (project-based learning), simulasi digital, dan eksplorasi berbasis teknologi untuk mendorong pembelajaran yang lebih interaktif dan relevan.  

Apakah kita masih terpaku pada metode ceramah satu arah, atau sudah membuka ruang bagi eksplorasi, diskusi, dan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran? 

 đꑉAksiologi : Tujuan Pendidikan di Era VUCA

Dalam kondisi yang tidak menentu, apakah nilai dan tujuan pendidikan masih relevan? Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menyatakan bahwa pendidikan harus bertujuan membentuk manusia yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan praktis (phronesis).  

Dalam konteks Era VUCA, Howard Gardner dengan teori Multiple Intelligences menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari kecerdasan akademik, tetapi juga kecerdasan emosional, sosial, dan digital. Seorang guru harus mampu menanamkan nilai-nilai seperti adaptabilitas, pemecahan masalah, dan berpikir kritis agar murid mampu menghadapi ketidakpastian di masa depan.  

Dari perspektif Islam, Syekh Az-Zarnuji dalam Ta’limul Muta’allim menekankan bahwa ilmu harus diajarkan dengan ketulusan dan bertujuan untuk kebaikan. Dalam era digital, ini berarti guru harus menanamkan nilai etika dalam penggunaan teknologi, mengajarkan literasi digital, dan membimbing murid agar tidak terjerumus dalam arus informasi yang menyesatkan.  

Apakah kita hanya mengajarkan ilmu akademik, atau juga menanamkan nilai-nilai kebijaksanaan agar murid dapat bertahan dan berkembang dalam dunia yang tidak menentu?  

Di tengah dunia yang terus berubah, seorang guru harus bertransformasi menjadi pemimpin pembelajaran yang:  

  1. Visioner, mampu melihat ke depan dan menyesuaikan metode mengajarnya dengan perkembangan zaman.  
  2. Adaptif, tidak terpaku pada pola lama, tetapi terbuka terhadap inovasi dan teknologi dalam pendidikan. 
  3. Inspiratif, mampu membangun karakter dan mengajarkan kebijaksanaan di tengah arus informasi yang tidak pasti.  
  4. Kolaboratif, tidak hanya berperan sebagai pemberi ilmu, tetapi juga sebagai fasilitator yang menghubungkan murid dengan dunia nyata.  

Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara,  "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani". Di Era VUCA, guru tidak hanya berada di depan untuk memberi contoh, tetapi juga di tengah untuk menginspirasi, dan di belakang untuk memberi dorongan agar murid mampu berdiri sendiri dalam menghadapi tantangan zaman.  

Renungan Akhir :

Sebagai guru di era digital, apakah kita sudah siap beradaptasi dan berkembang? Apakah kita telah menjadi pendidik yang relevan di tengah perubahan zaman, atau masih terpaku pada pola lama yang semakin ditinggalkan?  

Referensi :  

  • Al-Ghazali, I. (2004). Ihya’ Ulum al-Din. Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
  • Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.
  • Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.
  • Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
  • Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. Basic Books.
  • Ki Hajar Dewantara. (1962). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka belajar. Balai Pustaka.
  • Piaget, J. (1954). The construction of reality in the child. Routledge.
  • Plato. (1968). The republic (A. Bloom, Trans.).
  • Syekh Az-Zarnuji. (2003). Ta’limul muta’allim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar