Senin, 21 April 2025

Wisdom Literasi: Jalan Pulang Menuju Peradaban Luhur Bangsa

Di tengah gemuruh era digital dan derasnya arus informasi global, bangsa kita tak hanya dituntut untuk melek digital dan terampil teknologi, tapi juga melek kebijaksanaan. Literasi tidak lagi cukup hanya soal membaca, menulis, dan berhitung. Kita butuh wisdom literasi — kemampuan untuk menyerap pengetahuan dengan arif, bertindak dengan hati, dan mengambil keputusan berdasarkan nilai luhur yang telah hidup dalam jati diri bangsa ini.

Wisdom literasi bukan sekadar kemampuan intelektual, tapi juga kedewasaan moral dan kultural dalam menyikapi hidup sebagai manusia dan warga negara.

👉Memahami Budaya dan Kearifan Lokal Nusantara

Indonesia adalah negeri yang dikaruniai dengan ragam budaya dan bahasa daerah. Kearifan lokal bukan hanya warisan masa lalu, tapi sumber inspirasi masa depan. Tradisi seperti musyawarah desa, gotong royong, upacara adat, hingga petuah-petuah orang tua adalah bentuk literasi kebijaksanaan yang hidup.

Ketika anak muda memahami filosofi "Alon-alon asal kelakon" (Jawa) atau "Huma betang" (Dayak), mereka belajar tentang kesabaran, toleransi, dan keharmonisan sosial—bukan hanya dari buku, tapi dari denyut kehidupan.

👉Memahami Etika Sosial dan Kepatuhan dalam Beragama 

Sebagai bangsa Timur, kita menjunjung tinggi kesantunan, adab, dan etika pergaulan. Dalam wisdom literasi, seseorang bukan hanya tahu aturan, tapi juga menghidupi nilai-nilai sosial dan spiritual: menghormati yang lebih tua, menjaga tutur kata, serta mengamalkan ajaran agama tanpa memaksakan.

Di tengah dunia yang makin bebas, wisdom literasi mengajarkan kita bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab, dan keberagamaan harus dijalankan dengan cinta, bukan kebencian.

👉Memahami Sumber Daya Sosial dan Alam Nusantara 

Bangsa kita bukan miskin, tapi sering lupa. Alam Indonesia kaya, tetapi pemanfaatannya harus berlandaskan kebijaksanaan ekologi dan sosial. Wisdom literasi mengajarkan anak-anak kita untuk tidak hanya tahu soal tambang, sawit, atau laut, tapi juga tahu cara melestarikannya, membaginya dengan adil, dan menjaganya untuk generasi selanjutnya.

Kearifan lokal seperti "Sasi" di Maluku atau "Subak" di Bali adalah contoh bahwa masyarakat tradisional Indonesia telah mempraktikkan sustainability jauh sebelum istilah itu populer.

👉Menjunjung Nilai-nilai Kebangsaan dan Kewarganegaraan Sesuai Falsafah Pancasila 

Pancasila bukan sekadar dasar negara. Pancasila adalah panduan hidup sebagai bangsa. Wisdom literasi menanamkan kepada generasi muda bagaimana mencintai tanah air bukan hanya lewat slogan, tapi lewat tindakan nyata:

  • Menghargai perbedaan (Sila ke-3),
  • Menjunjung keadilan sosial (Sila ke-5),
  • Menjalankan agama dengan toleransi (Sila ke-1).

👉Mengimplementasikan Norma Sosial, Agama, dan Pancasila 

Apa gunanya tahu etika, tahu hukum, dan hafal ayat jika tidak dijalankan? Wisdom literasi adalah pertemuan antara pengetahuan dan kebajikan. Seorang pelajar yang mengembalikan dompet temannya yang hilang, seorang warga yang membuang sampah pada tempatnya, atau seorang guru yang mengajar dengan hati—semua itu adalah buah wisdom literasi.

Literasi sejati adalah ketika seseorang tidak hanya paham apa yang benar, tapi juga konsisten menjalaninya—walau tak dilihat orang.

👉Menuju Peradaban Luhur: Cita-cita Leluhur Bangsa 

Leluhur kita dahulu membangun peradaban bukan hanya dengan batu dan besi, tapi dengan nilai dan hati nurani. Dari kerajaan Sriwijaya yang menjunjung ilmu pengetahuan, hingga Majapahit yang menjunjung persatuan dalam keberagaman—semuanya mengajarkan bahwa kejayaan tanpa kebijaksanaan hanyalah kehampaan.

Wisdom literasi adalah jalan pulang bagi kita sebagai bangsa: kembali pada nilai-nilai luhur, tanpa menolak kemajuan zaman.

✍️Catatan Penutup

Di era perubaha yang semakin cepat, kita harus tetap bijak berpikir, dalam, dan penuh pertimbangan dalam bertindak. Wisdom literasi bukan hanya kebutuhan pendidikan, tapi kebutuhan peradaban.

Mari kita didik anak-anak kita bukan hanya menjadi cerdas dan cepat, tapi juga bijak dan berkarakter. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang hanya melek teknologi, tapi bangsa yang melek hati dan melek nilai.

Sebagaimana kata bijak dari falsafah Jawa:

"Sepinter-pinterné wong, nek ora duwe toto kromo, ora ene regané."
"Sepandai-pandainya seseorang, jika tidak punya etika, ia tak ada harganya."

Terus semangat dan selalu ikhtiar dalam kebaikan dan kebermanfaatan untuk menuju peradaban yang bijak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar