Setelah kabar dari empu tua itu menyebar di seluruh Mandhala Widyatmaka, para panataguna dari berbagai penjuru pun berkumpul di Pendapa Taman Ilmu. Angin sepoi dari gunung membawa aroma bunga kenanga, pertanda pertemuan akan menjadi bersejarah.
Di hadapan mereka berdirilah Empu Jagat Naya, penjaga naskah-naskah kuno. Dengan suara dalam, ia berkata:
“Wahai para penjaga ilmu, kita tak bisa terus menanam lalu mencabut sebelum berbuah. Pohon pengetahuan harus diberi waktu berakar, berbunga, dan berbuah. Sudah saatnya kita menata taman ini dengan tujuan yang jelas: apa yang hendak dimiliki rakyat kita setelah mereka berjalan di taman ini?”
Panataguna muda, Raden Lintang Kinasih, menimpali:
“Benar, Empu. Kita harus mulai dengan membayangkan hasil akhirnya—buah apa yang kita ingin rakyat petik. Lalu, kita susun jalur dari bibit hingga panen. Dengan begitu, setiap pohon tumbuh sesuai niat awalnya. Itulah yang oleh para cendekiawan negeri seberang disebut Pembelajaran Berbasis Hasil.”
Panataguna lainnya, Nyi Dewi Candrakirana, menambahkan:
“Dan jangan lupa kesinambungan. Jika sang raja berganti, sabda yang baik harus dijaga. Pohon yang sudah kokoh harus dipelihara, bukan ditebang. Hanya bagian yang layu yang perlu dipangkas. Dengan begitu, kita membangun taman yang tahan lintas musim, bukan taman yang berubah wujud setiap pergantian hari.”
Empu Jagat Naya mengangguk, lalu menggambar di tanah dengan tongkatnya: tiga lingkaran berpotongan.
“Inilah tiga inti yang harus ada di setiap jalur taman: Konseptual sebagai akar, Prosedural sebagai batang, dan Kontekstual sebagai buah. Tanpa salah satunya, pohon tak akan hidup sempurna. Akar tanpa batang takkan menjulang, batang tanpa buah tak memberi manfaat.”
Suasana pendapa menjadi hening, hanya terdengar gemericik air kolam di sisi timur. Para panataguna menyadari, musyawarah itu bukan sekadar untuk taman pengetahuan di Mandhala Widyatmaka, tetapi untuk masa depan seluruh anak negeri awan.
Maka, mereka pun bersumpah:
“Mulai hari ini, kita akan menata taman pengetahuan bukan untuk musim ini saja, tapi untuk tujuh turunan mendatang.”
Dan dari musyawarah itulah, lahir kesepakatan bahwa pembelajaran harus berlandaskan hasil yang ingin dicapai, berjalan berkesinambungan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar