Minggu, 10 Agustus 2025

Lakon: “Sabda yang Menumbuhkan” ( Episode 1 )

Di negeri khayangan Mandhala Widyatmaka, ilmu ibarat mata air yang tak pernah kering, mengalir dari puncak gunung hingga ke sawah rakyat. Air itu disalurkan ke Taman Widyaparamita, sebuah taman yang ditanami pohon-pohon pengetahuan. Pohon-pohon ini tidak sekadar memberi keteduhan, tetapi juga buah yang akan menjadi bekal generasi penerus negeri.

Namun, ada satu kebiasaan yang membuat taman ini tak pernah mencapai kemegahan sejatinya. Setiap kali Sang Raja berganti, sabda baru pun turun. Sabda itu tak jarang memerintahkan agar pohon yang baru bersemi dicabut, dan bibit lain segera ditanam.

Para panataguna—para penjaga dan pengasuh taman—menghela napas panjang. Mereka paham, merawat pohon pengetahuan butuh waktu. Ilmu pedagogi mengajarkan bahwa proses belajar bukan hanya tentang menanam benih, tetapi memberi waktu untuk berakar, bertumbuh, berbunga, dan berbuah.

Empu Janapati, seorang bijak yang sudah puluhan musim menjaga taman, berkata kepada murid-muridnya:

“Pohon yang terus dipindahkan tak akan berakar. Sabda yang baik harus dirawat hingga tuntas berbuah. Bila ada bagian yang layu, potonglah rantingnya, tapi jangan cabut akarnya. Perubahan sejati adalah menumbuhkembangkan, bukan memutus.”

Ilmu manajemen perubahan pernah mengajarkan kepada mereka bahwa keberhasilan sebuah kebijakan lahir dari kesinambungan dan kemampuan beradaptasi, bukan semata mengganti arah secara tiba-tiba. Dalam ontologi pembelajaran, pohon pengetahuan dipandang sebagai entitas hidup dengan siklus alami yang memerlukan waktu untuk berakar, tumbuh, berbunga, dan berbuah. Dari sudut epistemologi, pengetahuan yang tumbuh di pohon itu berasal dari pengalaman dan pemahaman yang dibangun secara bertahap, lapis demi lapis, hingga menguatkan batangnya. Sementara itu, dalam aksiologi, nilai tertinggi dari pohon pengetahuan bukanlah pada keelokan wujudnya di awal tanam, melainkan pada manfaat nyata yang dirasakan rakyat ketika buahnya matang, manis, dan mampu memberi kehidupan.

Namun, sabda yang terlalu sering berganti membuat para panataguna kehilangan semangat. Mereka merasa seperti tukang kebun yang diminta menanam, namun tak pernah diizinkan memanen. Ilmu psikologi pendidikan menyebutnya sebagai demotivasi, sebuah keadaan ketika kerja keras tak berbuah hasil karena arah terus berubah.

Cerita ini menjadi pembelajaran bagi seluruh Mandhala Widyatmaka. Mereka sadar, negeri yang bijak bukanlah negeri yang tergesa-gesa mengganti sabda, tetapi yang mampu merawat pohon pengetahuan hingga berbuah manis, sambil menyempurnakan caranya merawat sesuai musim dan cuaca.

Dan konon, setelah pelajaran ini mengalir dari telinga ke telinga, para raja mulai mengerti: membangun taman pengetahuan bukan soal cepat mengganti bibit, melainkan kesabaran merawat hingga generasi mendatang dapat memetik buahnya.

Maka, pada suatu sore yang temaram, di bawah sinar matahari yang condong ke barat, para panataguna berkumpul di pendapa Taman Ilmu. Angin membawa aroma bunga kenanga dan suara gemericik air kolam, seolah memanggil mereka untuk bermusyawarah. Inilah awal lakon berikutnya, “Musyawarah di Pendapa Taman Ilmu,” di mana para penjaga kebijaksanaan akan duduk bersila, menimbang jalan yang paling bijak bagi taman ini. Mereka hendak merumuskan sabda yang tidak hanya menumbuhkan akar dan batang, tetapi juga memastikan setiap bunga mekar dan setiap buah ranum menjadi bekal bagi generasi penerus Mandhala Widyatmaka. Di sinilah kisah akan berlanjut, saat kebijaksanaan kuno bertemu dengan pemikiran baru—sebuah pertemuan yang mungkin akan melahirkan titah yang menuntun taman menuju kemegahan sejati.

baca episode berikutnya.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar