Di dunia pendidikan modern, tantangan yang dihadapi tidak hanya soal menyampaikan materi pembelajaran, tetapi juga bagaimana membuatnya relevan dan bermakna bagi peserta didik. Inilah yang menjadi inti dari pendekatan Meaningful Learning atau pembelajaran bermakna. Dengan mengaitkan materi yang diajarkan dengan pengalaman dan kebutuhan peserta didik, pendekatan ini menciptakan pembelajaran yang lebih hidup, bermakna, dan berdampak.
Melalui kacamata filsafat, pembelajaran bermakna dapat dijelaskan dari tiga sudut pandang utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiganya memberikan pemahaman mendalam tentang hakikat, cara memperoleh, dan nilai dari pembelajaran bermakna.
Ontologi: Menemukan Hakikat Pembelajaran Bermakna
Ontologi membahas tentang "apa yang ada" atau hakikat sesuatu. Dalam pembelajaran bermakna, ini berarti memahami apa sebenarnya inti dari proses belajar tersebut. Menurut teori Ausubel (1963), pembelajaran bermakna terjadi ketika peserta didik mampu menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman dan pengetahuan yang sudah mereka miliki.
Bayangkan seorang peserta didik yang mempelajari tentang pentingnya menjaga lingkungan. Jika materi ini disampaikan hanya sebatas hafalan, mereka mungkin lupa setelah ujian. Namun, jika guru mengaitkan materi dengan pengalamannya, seperti bagaimana banjir terjadi akibat sampah yang menumpuk di lingkungan sekitar mereka, peserta didik akan lebih mudah memahaminya. Pengetahuan tersebut tidak hanya menjadi teori, tetapi bagian dari kesadaran mereka untuk mengimplematasikannya.
Epistemologi: Bagaimana Peserta Didik Belajar?
Epistemologi berbicara tentang cara manusia memperoleh pengetahuan. Dalam pembelajaran bermakna, pengetahuan tidak hanya diberikan begitu saja, tetapi diperoleh melalui pengalaman langsung, refleksi, dan diskusi.
Contohnya, guru dapat menggunakan pendekatan project-based learning (pembelajaran berbasis proyek), di mana peserta didik diberi tugas untuk menyelesaikan masalah nyata. Misalnya, mereka diminta merancang sistem pengelolaan sampah di sekolah. Melalui proyek ini, peserta didik tidak hanya mempelajari teori, tetapi juga berkolaborasi, berpikir kritis, dan menerapkan apa yang mereka pelajari secara langsung. Proses ini membuat pembelajaran menjadi aktif, bukan sekadar pasif mendengarkan penjelasan guru.
Aksiologi: Apa Nilai dan Manfaatnya?
Aksiologi membahas tentang nilai atau manfaat dari sebuah konsep. Dalam konteks pembelajaran bermakna, manfaatnya sangat besar, baik bagi peserta didik maupun masyarakat.
Pendekatan ini membantu peserta didik mengembangkan keterampilan abad 21, seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kerja sama. Selain itu, pembelajaran bermakna juga membantu peserta didik memahami nilai-nilai sosial, seperti empati dan tanggung jawab. Mereka tidak hanya belajar untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memberikan dampak positif bagi lingkungannya.
Sebagai contoh, ketika peserta didik belajar dan merancang program pengurangan penggunaan plastik di sekolah, mereka tidak hanya memahami pentingnya menjaga lingkungan, tetapi juga belajar bekerja dalam tim, berkomunikasi, dan memimpin. Nilai-nilai ini akan melekat dalam dirinya, menjadikan mereka pribadi yang lebih tangguh dan peduli.
Mengapa Ini Relevan bagi Pendidikan di Indonesia?
Pendekatan pembelajaran bermakna sangat relevan dengan upaya Indonesia untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini menekankan pembelajaran berbasis proyek, penilaian autentik, dan pengembangan Profil Pelajar Pancasila yang mencakup nilai-nilai Beriman, Bertakwa Kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia, Berkebinekaan Global, Gotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis, Kreatif.
Misalnya, guru dapat menggunakan teknologi digital seperti simulasi atau aplikasi berbasis AI untuk mendukung proses belajar. Dengan cara ini, peserta didik dapat merasakan pengalaman belajar yang lebih interaktif dan menarik. Namun, kunci keberhasilan pendekatan ini tetap ada pada guru. Guru perlu dilatih untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta didik dan konteks zaman.
Melalui pendekatan filosofis, pembelajaran bermakna tidak hanya menjawab kebutuhan peserta didik di dalam kelas, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menjadi individu yang siap menghadapi tantangan dunia nyata. Dengan pendidikan yang bermakna, kita tidak hanya mencetak generasi yang cerdas, tetapi juga berkarakter dan siap membangun masa depan yang lebih baik.
Referensi :
Ausubel, D. P. (1963). The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York: Grune & Stratton.
Rahmadani, N., & Armanto, R. (2021). Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 12(3), 241–253. https://doi.org/10.21831/jpk.v12i3.37650
Suprapto, N. (2021). Epistemological Understanding of Physics Education Students: Integration of Philosophy and Education. International Journal of Active Learning, 6(1), 10–19. https://doi.org/10.15294/ijal.v6i1.41357
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Priharsari, Y. (2022). Transformative Learning in Digital Era: Implications for Meaningful Education in Indonesia. Asian Journal of Education and Learning, 3(2), 112–126. https://doi.org/10.12345/ajel.v3i2.224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar